MATERI KELAS 4 TEMA 6 SUBTEMA 4 (KEGIATAN LITERASI)

 MATERI KELAS 4 TEMA 6 SUBTEMA 4 (KEGIATAN LITERASI)


DOWNLOAD MODUL BDR : KELAS 4 TEMA 6 SUBTEMA 4









 

Kakakku Dokter di Pedalaman

 Penulis: Diy Ara

 

Di sebuah rumah di Semarang, Rara sudah duduk di dekat telepon rumah sejak pulang sekolah. Beberapa kali, ia menatap telepon, lalu berbisik, “Kak Dilan, Rara kangen.” Sayangnya, telepon itu tetap tidak berdering. Rara menjadi kesal.

“Andai Rara punya kakak seperti kakaknya Sena. Seorang polisi hebat yang selalu mengantar Sena ke sekolah.”

“Kak Dilan dokter yang hebat, lho!” seru Mama.

“Dokter hebat harusnya ada di rumah sakit. Tidak di hutan seperti Kak Dilan,” protes Rara. “Kak Dilan malahan tidak punya waktu, sudah sebulan Kak Dilan tidak menelepon.”

Mama mengusap rambut panjang Rara. “Kak Dilan pasti kangen Rara. Tetapi, Kak Dilan kan sekarang tinggal di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, tepatnya di Distrik Weime. Itu daerah pedalaman, tidak ada listrik, sinyal, wartel, dan fasilitas lainnya. Jadi, kalau mau menelepon kita, Kak Dilan harus pergi ke kota dulu.”

Tiba-tiba telepon berdering. Rara lekas mengangkat telepon itu. Suara Kak Dilan menyapa. Rara berteriak girang.

“Kak Dilan harus pulang! Kalau tidak, Rara tidak mau ngomong sama Kakak lagi!”

“Rara jangan ngambek, dong! Kak Dilan kangen sekali suara imut Rara,” bujuk Kak Dilan di sambungan telepon. “Kakak mau cerita. Hari ini, Kakak senang sekali, akhirnya Bonai tersenyum.” “Siapa itu Bonai?” tanya Rara penasaran.

“Bonai itu salah satu pasien Kakak. Dia terkena malaria. Syukurlah, sekarang ia sudah sembuh. Tempat yang Kakak tinggali ini banyak sekali penduduk yang meninggal karena malaria. Soalnya, jarak dari sini ke rumah sakit sangat jauh.

Jadi, mereka telat ditangani,” cerita Kak Dilan.

“Kasihan sekali. Berarti Kakak harus jaga kesehatan. Kalau Kak Dilan sakit, nanti siapa yang mengobati mereka?”

“Ehm, Kakak minta maaf, ya karena Kakak tidak ada di samping Rara.”

Rara merasa bersalah. Seharusnya, ia mendukung Kak Dilan. Soalnya, menjadi dokter di pedalaman adalah tugas berat dan sangat mulia. “Tidak apa-apa, Kak. Rara paham sekarang. Dibandingkan Rara, penduduk di Weime lebih membutuhkan Kak Dilan. Kakak harus ada di samping mereka dan mengobati mereka sampai sembuh! Janji ya sama Rara!”

“Janji! Doain Kakak, ya!”

“Pasti! Rara bangga sekali punya Kakak sehebat Kak Dilan!” seru Rara semangat. “Kalau sudah dewasa nanti, Rara mau jadi dokter. Menyelamatkan nyawa orang lain dan membuat mereka tersenyum!”

“Kakak juga bangga sama Rara!” kata Kak Dilan di ujung telepon sana.


ALTERNATIF JAWABAN


----------------------------------------------------------------------------------------------------

 

 

 

Kebaikan Hati Pohon Jati

Penulis: Heru Prasetyo

 

Siang hari itu, di sebuah lokasi perbukitan di Pulau Jawa, Awan menurunkan air hujan yang dibawanya ke daratan.

“Ah, leganya.” Awan merasa senang, air yang sedari tadi dibawa sudah ditumpahkannya.

“Hei, Awan. Kenapa kamu sembarang menurunkan hujan?” protes Pohon Jati.

Awan terkejut mendengar pohon jati memprotesnya. Padahal, selama ini, Pohon Jati selalu senang kalau awan menurunkan hujan.

“Aku tidak kuat lagi. Sedari tadi, aku sudah lelah mengangkut hujan,” sahut Awan.

Namun, Pohon Jati tampak tidak senang mendengarnya. “Iya, tapi, kenapa kamu menurunkannya di sini? Lihatlah, tempat ini sudah penuh air!” kata Pohon Jati marah. Awan melihat ke bawah. Memang benar, di sekitar Pohon Jati banyak terdapat genangan air.

Pohon Jati masih merasa jengkel. “Bagaimana caranya agar aku tidak lagi digenangi air sebanyak ini?”

“Tenang saja, nanti pasti akan terserap oleh akarmu,” jawab Awan singkat.

“Itu tidak mungkin. Semua temanku sudah habis ditebangi manusia. Cuma tinggal aku satu-satunya pohon jati di sini,” kata Pohon Jati tampak sedih.

Awan pun berempati. “Aku turut sedih mendengarnya.”

“Lalu genangan air ini sebanyak ini bagaimana membuangnya?” tanya Pohon Jati.

“Gampang, kamu alirkan airnya ke bawah bukit sana,” Awan memberi saran.

“Aku tidak mau! Aku tidak mau membuat manusia yang berada di bawah bukit menjadi korban banjir,” tukas Pohon Jati.

"Bukankah mereka sudah menebangi semua temanmu,” ujar Awan.

“Tapi, tidak semua dari mereka seperti itu. Anak-anak di bawah bukit sana, mereka sangat menyayangiku. Sudah beberapa hari ini mereka menanam banyak bibit pohon untuk temanku nanti. Mereka juga merawatku dengan baik,” sahut Pohon Jati. Awan pun terenyuh mendengarnya.

“Lalu sekarang apa yang akan kamu lakukan?” tanya Awan.

“Aku akan berusaha menahan genangan air yang banyak ini tetap di sini sebisaku,” jawab Pohon Jati.

Awan tidak menyangka Pohon Jati begitu baik hati.

Akhirnya, Pohon Jati terus berusaha menyerap genangan air di sekitarnya sedikit demi sedikit dengan akarnya.

Sore pun menjelang. Genangan air di sekitar Pohon Jati perlahan mulai surut. Tampak anak-anak mulai berdatangan ke atas bukit. Dari atas langit, Awan melihat sekumpulan anak-anak kembali menanami bibit-bibit pohon jati di area di mana dahulu banyak terdapat pohon jati, tetapi kini sudah ditebang.

“Hei, masih ada sedikit genangan air. Ayo, kita main!” Anak-anak tampak antusias bermain air di bawah Pohon Jati. Di wajah mereka tersirat keceriaan. Pohon Jati pun tersenyum bahagia melihat keceriaan anak-anak itu.

 


ALTERNATIF JAWABAN


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




 

 

Laut Kita Penuh Harta Karun

Penulis: Erlita Pratiwi

 

Minggu pagi yang cerah. Nara bersama ayah dan Om Benny, teman ayah, naik perahu motor meninggalkan pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timur, menuju ke tengah laut lepas. Ayah Nara yang mengemudikan perahu motor itu menuju perahu besar yang berada di tengah laut.

Sesampainya di perahu besar, Nara melihat teman-teman ayah membersihkan kerang mutiara. Kerang-kerang itu kemudian akan dikembalikan ke dalam laut. Bila sudah cukup umur, dipanen untuk diambil mutiara yang terdapat di dalam kerang.

Nara memperhatikan kerang-kerang yang sedang dibersihkan. Lalu, ia memegang salah satunya. Sama sekali tidak terlihat ada sesuatu yang mahal di dalamnya.

“Yang ini, mutiaranya sudah sebesar apa, Ayah?” tanya Nara penasaran.

“Harus diperiksa dengan sinar X terlebih dahulu, Nara. Baru nanti bisa terlihat,” kata ayahnya. Nara pun hanya manggut-manggut.

“Tidak semua proses mutiara berhasil, Nara. Dengan bantuan sinar-X, kita bisa tahu kerang yang gagal,” kata Om Benny menjelaskan.

Om Benny lalu menunjuk kerang yang sedang dibersihkan. “Ini namanya Pinctada maxima. Jenis kerang ini menghasilkan mutiara berwarna keemasan. Kerang-kerang harus dibersihkan dari siput dan binatang lain yang menempel. Hewan-hewan itu akan mengisap makanan yang ada di dalam kerang. Nanti mutiaranya jadi tidak sempurna.”

Nara menyimak penjelasan Om Benny itu. “Pantas saja mutiara itu harganya mahal. Prosesnya sulit dan lama ya, Om,” kata Nara.

Om Benny mengangguk membenarkan.

“Kamu tahu tidak, mutiara dari perairan Lombok sudah terkenal ke seluruh dunia, Nara. Dan faktanya, hampir 43 persen mutiara di dunia itu dihasilkan dari Indonesia,” tiba-tiba Om Benny berkata lagi.

“Wow, keren!” Nara berseru kagum. ”Indonesia ternyata punya banyak harta karun di laut, ya, Om,” kata Nara.

”Iya, Nara. Bangsa kita memang kaya akan hasil laut. Bukan cuma mutiara, masih banyak kekayaan hasil laut lainnya, Nara. Tapi, sayangnya, potensi sumber daya kelautan Indonesia yang sangat besar itu sampai sekarang masih belum tergarap secara optimal, Nara,” lanjut Om Benny dengan nada prihatin.

”Oh, begitu ya, Om?” Nara ikut merasa sedih mendengarnya.

“Oleh karena itu, kamu belajar yang rajin, Nara! Supaya saat kamu besar nanti, kamu dan generasi muda penerus bangsa lainnya bisa mengolah kekayaan hasil laut Indonesia ini dengan baik. Bangsa kita nantinya bisa menjadi makmur,” pesan Om Benny kemudian.

“Siap, Om!” Nara membuat gerakan hormat dengan tangannya.

Om Benny dan Ayah Nara pun tersenyum senang melihat semangat Nara.

Bangsa Indonesia memiliki sumber daya kelautan yang melimpah. Mari kita cintai dan jaga kekayaan laut tersebut.

 


ALTERNATIF JAWABAN


--------------------------------------------------------------------------------------------------


 

 

Kemarau di Gunungkidul

Penulis: Fransisca Emilia

 

Dongeng Anak Terpilih Kategori Air Minum -

Lomba Menulis Dongeng Anak KSAN 2015

 

Hari ini sekolah Elang libur. Elang ikut ayahnya yang akan meliput berita di Gunungkidul, Yogyakarta. Ayah Elang seorang wartawan.

“Di sana sering kekurangan air ya, Yah? Aku pernah baca di majalah,” kata Elang.

Ayah mengangguk. “Sebagian besar wilayah Gunungkidul merupakan pegunungan karst yang tersusun dari batuan kapur berpori. Akibatnya, air selalu merembes dan menghilang ke dalam tanah. Permukaannya kering, tapi jauh di bawah tanah kaya akan air. Lihatlah sekitarmu, Elang,” kata ayahnya lagi.

Dari kaca mobil, Elang memandang sekelilingnya. Pohon-pohon jati meranggas dan rerumputan mengering. Saat memasuki perkampungan, yang terlihat hanya tanah cokelat yang pecah-pecah.

Saat sampai tujuan, ayah memarkir mobil di depan balai desa. Tak jauh dari situ, kerumunan warga tengah mengantre di sekeliling mobil tangki air. Mereka membawa jeriken, ember, dan berbagai wadah untuk menampung air. Ayah lalu mewawancarai kepala desa dan beberapa warga.

“Telaga-telaga sudah mengering pada awal kemarau. Begitu pula bak-bak penampungan air dan kolam-kolam yang kami buat, hanya cukup untuk satu bulan,” kata Pak Kepala Desa.

Elang memandang kerumunan warga dengan sedih. Ia lalu melihat seorang gadis kecil yang baru selesai mengantre air. Jalannya terengah-engah.

Elang mendekatinya. “Sini, aku bantu.”

Mata bulat gadis kecil itu berbinar. Elang lalu memperkenalkan dirinya. Gadis itu bernama Gendis.

“Kenapa mengambil air sendiri?” tanya Elang perlahan

“Simbah sedang membuat gaplek. Bapak dan simbok bekerja di Jakarta,” jawab Gendis.

“Air ini untuk apa? Mandi?” tanya Elang lagi.

“Musim kemarau begini aku jarang mandi. Kita membeli air untuk minum dan memasak saja.”

Elang tak menyangka kalau ada daerah yang mengalami kekeringan separah itu.

“Hei, dari mana? Ayo pulang,” kata ayah membuyarkan lamunan Elang.

“Yah, bukankah kata Ayah di dalam tanah sana kaya air? Apa tidak bisa dimanfaatkan?” tanya Elang.

“Bisa. Tapi, dalamnya ratusan meter. Perlu biaya sangat besar. Pemerintah bekerja sama dengan Jerman sudah membangun bendungan di Gua Bribin. Airnya dipompa ke atas!”

“Terus, kenapa masih kekurangan air?”

“Airnya sudah bisa memenuhi kebutuhan warga di beberapa kecamatan. Tapi belum optimal. Mudah-mudahan dengan perkembangan teknologi, air bawah tanah bisa dimanfaatkan lebih baik. Dan, Gunungkidul tidak kekurangan air lagi seperti sekarang.”

”Kita beruntung ya, Yah, tidak pernah kekurangan air,” kata Elang kemudian. Ayahnya pun mengangguk. Perjalanan bersama ayah kali ini, sungguh memberikan pengalaman baru bagi Elang.

 


 

ALTERNATIF JAWABAN


-----------------------------------------------------------------------------------------------



 

 

Impian Bomu

Penulis: Watiek Ideo dan DK Wardhani

 

Hai, namaku Bomu. Aku adalah sebatang bambu di daerah Way Kambas, Sumatra. Aku tinggal bersama segerombol bambu lainnya. Teman kami, Angin, suka sekali menggoda dan bercanda bersama kami, para bambu.

Tiba-tiba kudengar suara yang amat keras. Itu adalah para pohon besar di seberang.

“Oh, sebentar lagi kita akan dibawa ke kota,” kata Pohon Kampar.

“Ya. Kudengar mereka akan menjadikan kita mebel-mebel mewah,” ujar Pohon Meranti bangga.

“Seperti apa ya tinggal di kota?” batinku. Sungguh, aku iri kepada mereka. Para manusia lebih membutuhkan pohon-pohon itu daripada sepotong bambu.

Hari berganti hari. Pagi-pagi kudengar kehebohan di sawah seberang. Rupanya itu adalah anak-anak Way Kambas. “Gawat! Kata Ayahku, musim kemarau sudah datang!”

“Sawah-sawah akan kekeringan.”

“Kita akan kesulitan air bersih nanti.” Suara-suara mereka terdengar khawatir.

Keesokan hari, kulihat anak-anak Way Kambas datang lagi. Tapi kini, mereka ditemani para orang tua. Dan, hei, mereka berjalan ke arah kami, para bambu!

“Ayo, ayo! Ambil yang bagus bambunya”

“Iya. Biar kuat!”

Orang-orang mulai memotong kami para bambu. Rasanya sungguh geli. Aku sangat bahagia membayangkan apa yang akan terjadi. Kurasa mereka akan membawaku ke kota! Hore!

Tubuhku bergoyang-goyang saat orang-orang itu mengusung para bambu ke sebuah sungai besar di ujung desa. Lho, kok ke sini?

“Ayo, kita rakit sekarang!” Tanpa dikomando, mereka berbagi tugas. Srek! Srek! Kras! Kras! Hei, apa yang terjadi?

Dan, wow! Tubuhku tertali amat kencang bersama teman-temanku. Kulihat beberapa bambu lain tampak saling terhubung menjadi pipa-pipa panjang.

“Ayo, kita coba sekarang!”

Tiba-tiba angin bertiup ke arahku. Perlahan, tubuhku berputar. Air pun masuk ke bumbung-bumbung tubuhku dan teman-temanku. Lalu, air itu tumpah ke sebuah wadah dan mengalir masuk ke pipa-pipa bambu.

“Berhasil!” “Hore!” “Airnya masuk!”

Para petani dan anak-anak itu bersorak bahagia. Air itu mengalir ke sawah-sawah dan kolam penampungan di tengah desa.

Kini, aku menjadi bagian dari kincir angin ini. Anak-anak Way Kambas bersemangat sekali menanami sekitar mata air dengan tunas-tunas muda. Mereka dan para orang dewasa bahu-membahu menahan tepian mata air dengan bebatuan. Tak boleh lagi ada yang menebang pohon sembarangan dan mengotori sumber air.

 

 


ALTERNATIF JAWABAN



-------------------------------------------------------------------------------------------------------




KEMBALI KE : DAFTAR MENU


-------------------------------------------------------------------------------------------------



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATERI KELAS 4 TEMA 6 SUBTEMA 1

KREASI MEMBUAT KOLASE

MATERI KELAS 4 TEMA 7 SUBTEMA 3

MODUL PEMBELAJARAN/ MODUL BDR SD

MATERI KELAS 4 TEMA 7 SUBTEMA 2

MATERI KELAS 4 TEMA 8 SUBTEMA 1

MATERI KELAS 4 TEMA 6 SUBTEMA 3